1. Asal-usul
bahasa
Berbicara tentang asal usul
bahasa, kita berhadapan dengan suatu aspek kajian yang paling banyak
dipertentangkan. Hasil Studi yg selama ini dikembangkan untuk dapat
melacak secara tepat bagaimana sesungguhnya asal-usul bahasa, belum ada yang
memuaskan.Karena itu, di antara para penyelidik tentang genealogi keberbahasaan
manusia, masih sulit untuk dicapai kesepakatan tunggal yg bersifat final.Begitu
muncul pertanyaan “Bagaimana Mulanya bahasa itu Lahir?”Kita akan bersinggungan
dengan banyak teori yg saling kontradiktif. Masing – masing teori mencoba menjelaskan
secara spesifik tentang asal bahasa.Beberapa teori dan pendapat itu memilih
jawaban yg beragam.Ada yg cukup ilmiah dan rasional, ada pula yg terkesan lucu,
bahkan kadang terasa aneh dan tak masuk akal.
Bahkan
karena terlalu sulitnya sumber-sumber yg bisa menjelaskan secara akurat tentang
asal-usul bahasa, pada tahun 1866 masyarakat linguis Perancis sempat melarang
mendiskusikan subjek tersebut, karena hal itu dianggap hanya spekulasi yg sama
sekali tidak berarti.
Membicarakan asal bahasa, menurut mereka sebuah pertentangan yg sia-sia.
Membicarakan asal bahasa, menurut mereka sebuah pertentangan yg sia-sia.
Penyelidikan
Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif menyakini
tentang adanya keterlibatan Dewa atau Tuhan dalam permulaan sejarah berbahasa
mereka.
Menurut mereka, Tuhanlah yg mengajarkan Nabi Adam nama-nama benda.Dikatakan pula bahwa manusia diciptakan secara stimulan.Pada penciptaan ini, manusia dikaruniai kemampuan berbahasa sebagai anugerah Illahi.
Menurut mereka, Tuhanlah yg mengajarkan Nabi Adam nama-nama benda.Dikatakan pula bahwa manusia diciptakan secara stimulan.Pada penciptaan ini, manusia dikaruniai kemampuan berbahasa sebagai anugerah Illahi.
Baru
pada bagian akhir abad ke-18 spekulasi asal – usul bahasa berpindah dari
wawasan keagamaan, mistik, takhayul ke alam paradigma pengetahuan baru yg
disebut “ORGANIC PHASE” ( fase organik).
Pada fase ini, pergeseran paradigmatik dalam memahami asal – usul bahasa dimulai dengan terbitnya “UBER DEN ORGANIC PHASE” (dalam terjemahan bahasa inggris : “ON THE ORIGIN OF LANGUAGE)
Pada tahun 1772, ditulis oleh Johann Gottfried Von Herder (1744-1803).
Pada fase ini, pergeseran paradigmatik dalam memahami asal – usul bahasa dimulai dengan terbitnya “UBER DEN ORGANIC PHASE” (dalam terjemahan bahasa inggris : “ON THE ORIGIN OF LANGUAGE)
Pada tahun 1772, ditulis oleh Johann Gottfried Von Herder (1744-1803).
Ia
mengemukakan bahwa tidaklah tepat dikatakan bahwa bahasa merupakan anugerah
Illahi.
Menurut Von Herder bahasa lahir karena dorongan manusia untuk mencoba – coba berfikir.
Bahasa adalah akibat hentakan dari suatu kehendak yg bekerja secara insingtif, seperti halnya janin dalam proses kelahiran. Teori ini bersamaan dengan mulai timbulnya teori EVOLUSI manusia yg diprakarsai oleh Immanuel Kant (1724-1804) yg kemudian disusul oleh Charles Darwin.
Menurut Von Herder bahasa lahir karena dorongan manusia untuk mencoba – coba berfikir.
Bahasa adalah akibat hentakan dari suatu kehendak yg bekerja secara insingtif, seperti halnya janin dalam proses kelahiran. Teori ini bersamaan dengan mulai timbulnya teori EVOLUSI manusia yg diprakarsai oleh Immanuel Kant (1724-1804) yg kemudian disusul oleh Charles Darwin.
Menurut
Darwin (1809-1882) dalam “DESCENT MAN” (1871), kualitas bahasa manusia dengan
bahasa binatang hanya berbeda dalam tingakatannya saja.
Kalau pun ada perbedaan barangkali hanya dari ekspresi emosinya saja.
Kalau pun ada perbedaan barangkali hanya dari ekspresi emosinya saja.
Namun
Mark Muller (1823-1900) ahli filologi dari Jerman tidak sependapat dengan
Darwin.
Muller meledek teori ini, menyebutnya sebagai “POOH-POHH THEORY”.Teori Darwin ini juga tidak disetujui oleh para sarjana berikutnya seperti Edward Sapir (1884-1939) dari Amerika.Mark Muller kemudian memperkenalkan “DINGDONG THEORY” atau disebut juga “NATIVISTIK THEORY”.Dalam beberapa hal teori ini sedikit sejalan dengan apa yg di ajukan Socrates.
“Bahwa bahasa lahir secara alamiah dan ilmiah”.
Muller meledek teori ini, menyebutnya sebagai “POOH-POHH THEORY”.Teori Darwin ini juga tidak disetujui oleh para sarjana berikutnya seperti Edward Sapir (1884-1939) dari Amerika.Mark Muller kemudian memperkenalkan “DINGDONG THEORY” atau disebut juga “NATIVISTIK THEORY”.Dalam beberapa hal teori ini sedikit sejalan dengan apa yg di ajukan Socrates.
“Bahwa bahasa lahir secara alamiah dan ilmiah”.
Tapi
teori ini menyuguhkan suatu kesangsian ketika menemukan fakta bahwa ternyata
bahasa manusia itu beragam, jika bahasa memang terbentuk secara natural
sebagaimana bel, kenapa bahasa manusia menjadi tidak sama?
Pada akhirnya, Muller menolak teorinya sendiri.
Pada akhirnya, Muller menolak teorinya sendiri.
Dari
sekian teori dengan subjek yg sama, satu-satunya yg agak bertahan adalah
“BOW-WOW THEORY”. Teori ini juga disebut “ONOMATOPOETIC” atau ECHOIC THEORY”.
Menurut teori ini, kata-kata yg pertama kali muncul adalah tiruan terhadap suara alam, seperti guntur, hujan, angin, sungai, ombak samudra dan lainnya.
Mark Muller dengan sarkastis mengomentari teori ini dengan mengatakan bahwa teori ini hanya berlaku pada kokok ayam dan bunyi itik, padahal, kata Muller, kegiatan bahasa justru lebih banyak terjadi diluar kandang ternak.
Menurut teori ini, kata-kata yg pertama kali muncul adalah tiruan terhadap suara alam, seperti guntur, hujan, angin, sungai, ombak samudra dan lainnya.
Mark Muller dengan sarkastis mengomentari teori ini dengan mengatakan bahwa teori ini hanya berlaku pada kokok ayam dan bunyi itik, padahal, kata Muller, kegiatan bahasa justru lebih banyak terjadi diluar kandang ternak.
Beberapa
teori mengenai Asal – Usul bahasa yg telah disebutkan tadi, termasuk dalam kategori
teori- teori tradisional.
2.
Fungsi dari bahasa
Ø Bahasa sebagai alat
untuk menyatakan ekspresi diri.
Bahasa
merupakan sarana untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri
seseorang, baik berbentuk perasaan, pikiran, gagasan, dan keinginan yang
dimilikinya.Begitu juga digunakan untuk menyatakan dan memperkenalkan
keberadaan diri seseorang kepada orang lain dalam berbagai tempat dan situasi.
Ø Bahasa sebagai alat
komunikasi.
Melalui
Bahasa, manusia dapat berhubungan dan berinteraksi dengan alam sekitarnya, terutama
sesama manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam berkomunikasi tentu harus
memperhatikan dan menerapkan berbagai etika sehingga terwujud masyarakat yang
madani selamat dunia dan akhirat.Bahasa sebagai alat komunikasi berpotensi
untuk dijadikan sebagai sarana untuk mencapai suatu keberhasilan dan kesuksesan
hidup manusia, baik sebagai insan akademis maupun sebagai warga
masyarakat.Penggunaan bahasa yang tepat menjadikan seseorang dalam memperlancar
segala urusan.Melalui bahasa yang baik, maka lawan komunikasi dapat memberikan
respon yang positif. Akhirnya, dapat dipahami apa maksud dan tujuannya.
Ø Bahasa sebagai alat
integrasi dan adaptasi social.
Pada
saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih
bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita
hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita
akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan
menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati. Dalam
mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara
menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan
menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Jangan
sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut.
Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan
menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.
Ø Bahasa sebagai alat
kontrol social.
Kontrol
sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada
masyarakat.Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan
melalui bahasa.Buku-buku pelajaran, buku-buku instruksi, ceramah agama
(dakwah), orasi ilmiah atau politik adalah contoh penggunaan bahasa sebagai
alat kontrol sosial.Selain itu, kita juga sering mengikuti diskusi atau acara
bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio, iklan layanan masyarakat
atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat
kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada
kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan
yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan
pandangan orang lain mengenai suatu hal. Contoh lain yang menggambarkan fungsi
bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah
sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat
efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah
kita ke dalam bentuk tulisan.
3.
Keterbatasan bahasa
Keterbatasan
jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek.Kata-kata adalah
kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu: orang, benda, peristiwa,
sifat, perasaan, dan sebagainya. Tidak semua kata tersedia untuk merujuk pada
objek.Suatu kata hanya mewakili realitas, tetapi buka realitas itu
sendiri.Dengan demikian, kata-kata pada dasarnya bersifat parsial, tidak
melukiskan sesuatu secara eksak.Kata-kata sifat dalam bahasa cenderung bersifat
dikotomis, misalnya baik-buruk, kaya-miskin, pintar-bodoh, dsb.
Ada
beberapa keterbatasan bahasa di lihat dari jenisnya yaitu :
·
Kata-kata
bersifat ambigu dan kontekstual.
Kata-kata bersifat
ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi
orang-orang yang berbeda, yang menganut latar belakang sosial budaya yang
berbeda pula.Kata berat, yang mempunyai makna yang nuansanya beraneka
ragam*. Misalnya: tubuh orang itu berat; kepala saya berat; ujian
itu berat; dosen itu memberikan sanksi yang berat kepada mahasiswanya
yang nyontek.
·
Kata-kata
mengandung bias budaya.
Bahasa terikat konteks
budaya. Oleh karena di dunia ini terdapat berbagai kelompok manusia dengan
budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata
yang (kebetulan) sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau
kata-kata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang
yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman
ketiaka mereka menggunakan kata yang sama. Misalnya kata awak untuk
orang Minang adalah saya atau kita, sedangkan dalam
bahasa Melayu (di Palembang dan Malaysia) berarti kamu.Komunikasi sering
dihubungkan dengan kata Latin communis yang artinya sama. Komunikasi
hanya terjadi bila kita memiliki makna yang sama. Pada gilirannya, makna yang
sama hanya terbentuk bila kita memiliki pengalaman yang sama. Kesamaan makna
karena kesamaan pengalaman masa lalu atau kesamaan struktur
kognitif disebut isomorfisme. Isomorfisme terjadi bila komunikan-komunikan
berasal dari budaya yang sama, status sosial yang sama, pendidikan yang sama,
ideologi yang sama; pendeknya mempunyai sejumlah maksimal pengalaman yang sama.
Pada kenyataannya tidak ada isomorfisme total.
·
Percampuradukkan
fakta, penafsiran, dan penilaian.
Dalam berbahasa kita
sering mencampuradukkan fakta (uraian), penafsiran (dugaan), dan
penilaian.Masalah ini berkaitan dengan dengan kekeliruan persepsi. Contoh: apa
yang ada dalam pikiran kita ketika melihat seorang pria dewasa sedang membelah
kayu pada hari kerja pukul 10.00 pagi? Kebanyakan dari kita akan menyebut orang
itu sedang bekerja. Akan tetapi, jawaban sesungguhnya bergantung pada:
Pertama, apa yang dimaksud bekerja? Kedua, apa pekerjaan tetap orang
itu untuk mencari nafkah? .... Bila yang dimaksud bekerja adalah
melakukan pekerjaan tetap untuk mencari nafkah, maka orang itu memang sedang
bekerja.Akan tetapi, bila pekerjaan tetap orang itu adalah sebagai dosen, yang
pekerjaannya adalah membaca, berbicara, menulis, maka membelah kayu bakar dapat
kita anggap bersantai baginya, sebagai selingan di antara jam-jam kerjanya.
4. Bahasa
pria dan wanita
Dalam
sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat.
Ada ungkapan “mengapa cara berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dengan
kata lain, kita tertuju pada beberapa faktor yang menyebabkan wanita lebih suka
menggunakan bahasa standar dibandingkan pria. Berkaitan dengan itu, patut
dicermati bahasa sebagai bagian sosial, perbuatan yang berisi nilai, yang
mencerminkan keruwetan jaringan sosial, politik, budaya, dan hubungan usia
dalam masyarakat.
Beberapa
pendapat mengatakan bahwa wanita, di dalam masyarakat, sadar bahwa status
mereka lebih rendah daripada laki-laki sehingga mereka menggunakan bentuk
bahasa yang lebih standar daripada laki-laki. Pendapat ini mengatakan bahwa hal
tersebut ada hubungannya dengan cara pria memperlakukan wanita karena
kesenjangan yang dimiliki. Kesenjangan antara pria dan wanita terlihat dari
segi fisik, suara, maupun faktor sosiokultural dalam bertutur (misalnya
kesopanan).Dalam bidang pekerjaan, misalnya, wanita memiliki peran yang berbeda
dari pada pria.Wanita lebih sering menduduki posisi kedua, jarang menjadi orang
pertama, misalnya sebagai sekretaris, anggota parleman, karyawan biasa, dan
lain-lain.
Dalam
bersosialisasi, biasanya laki-laki lebih sering berbicara seputar olah raga,
bisnis, politik, materi formal, atau pajak. Sementara itu, topik yang
dibicarakan oleh wanita lebih menjurus kepada masalah kehidupan sosial, buku,
makanan, minuman, dan gaya hidup. Menurut Janet Holmes, "Women
are designated the role of modelling correct behaviour in the community."Dalam
sudut pandang ini, wanita diharapkan lebih sopan saat bertutur.Tidak dapat
dibayangkan seorang wanita menggunakan kata mengumpat “keras”.Dalam makian
bahasa Jawa, misalnya, wanita takkan mengatakan asu, namun menyopankannya
dengan bentuk asem (pada perkembangan selanjutnya, asem dijadikan makian oleh
sebagian besar orang Jawa, termasuk pria, yang ingin menyopankan
makiannya).Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, wanita mencoba
melindungi keinginan atau kebutuhan mereka. Dalam kata lain, wanita menuntut
status sosial yang lebih.
5. Komunikasi
konteks tinggi dan konteks rendah
a. Komunikasi
konteks tinggi
Komunikasi
konteks tinggi adalah komunikasi yang bersifat implisit dan ambigu, yang
menuntut penerima pesan agar menafsirkannya sendiri. Komunikasi konteks tinggi
bersifat tidak langsung, tidak apa adanya.Komunikasi kontekstinggi mengandung
pesan relative banyak terdapat dalam konteks fisik (physical context), sehingga
makna pesan hanya dapat dipahami dalam konteks pesan tersebut. Dalam komunikasi
konteks tinggi, makna terinternalisasikan pada orang yang bersangkutan, dan
pesan lebih ditekankan pada aspek non – verbal (internalized in the person while very little is in the coded).Dalam
komunikasi yang demikian, mengetahui suatu kata atau huruf hanya memberi
sedikit makna bila tidak diketahui konteks penggunaannya.
Ciri-ciri
Komunikasi Konteks Tinggi sbb: Ciri komunikasinya yang singkat, penuh arti, dan
puitis. Komunikasi konteks tinggi sangat mungkin dipahami jika digunakan di
dalam kelompoknya sendiri, tidak untuk kelompok luar.Komunikasi konteks tinggi
bertipikal sedikit berbicara, implisit, puitis.Orang berbudaya konteks tinggi
menekankan isyarat kontekstual, sehingga ekspresi wajah, tensi, gerakan,
kecepatan interaksi dan lokasi interaksi lebih bermakna. Orang dalam berbudaya
konteks tinggi mengharapkan orang lain memahami suasana hati yang tak
terucapkan, isyarat halus dan isyarat lingkungan.
Dalam
interaksi konteks-tinggi pesan dalam komunikasi akan mudah dimengerti oleh
kelompoknya (orang yang berkonteks-tinggi).Sulitnya untuk mengatakan tidak,
bagi orang Indonesia bukan sekedar basa-basi, situasi demikian benar-benar ada
apa adanya di lingkungan kita sehari-hari, yang oleh Edward T. Hall dikatakan ‘places cultures along a continuum’
(bersemi ada dalam budayanya). Orang Indonesia lebih memilih diam daripada
mengucapkan kata tidak secara langsung.
Sistem
masyarakat tertutup, yakni suatu sistem sosial yang mempercayai bahwa
pandangannya tidak dapat diubah oleh kelompok luar.Disini peran kolektif cukup
tampak menonjol, dibandingkan individu.Suatu Kelompok Sosial merupakan in-group
atau bukan, tergantung situasi sosial.Sikap yang ada yang dimiliki oleh
in-group pada umumnya didasarkan pada simpati.Selalu memiliki perasaan dekat
dengan anggota kelompoknya.Budaya komunikasi konteks tinggi ditemukan dalam
sistem sosial tertutup, seperti sistem sosial masyarakat
Indonesia.
Kurang
bisa menghargai waktu, sering tidak tepat waktu kalau memberikan janji, dan
kurang memiliki disiplin dalam menyelesaikan pekerjaan atau yang sering kita
dengar dengan istilah suka ngaret.
b. Komunikasi
konteks rendah
Komunikasi
konteks rendah adalah komunikasi yang bersifat langsung, apa adanya, lugas
tanpa berbelit-belit ngalor-ngidul. Karakter komunikasi semacam ini biasa
terjadi di Barat, mereka sukanya to the point tidak suka basa-basi.
Pada
umumnya, komunikasi konteks-rendah ditujukan pada pola komunikasi mode lisan
langsung, pembicaraan lurus, kesiapan non verbal dan mengirim berorientasi
nilai.Pengirim bersikap tanggung jawab untuk menyampaikan secara jelas.Dalam
komunikasi konteks rendah, pembicara diharapkan untuk lebih bertanggung jawab
untuk membangun sebuah kejelasan, pesan yang meyakinkan sehingga pendengar
dapat membaca sandi dengan mudah.
Budaya
konteks-rendah cenderung menganut “waktu monokronik”, waktu monokronik adalah
waktu yang berjalan secara linear. Waktu linear dianggap berjalan dari masa
lalu ke masa depan, seperti garis lurus, dan tidak pernah kembali. Waktu
dianggap objektif, dapat dihitung, dihemat, dihabiskan, dan dibuang. Maka waktu
menjadi berharga, sehingga muncullah pribahasa Time is money. Efisiensi waktu
adalah ciri khas dari budaya konteks-rendah, one-thing-at-one-time, being on
time,getting the job done.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Asal
muasal bahasa sampai saat ini masih banyak di perdebatkan oleh para ahli
sehingga para ahli belum menemukan hasil yang sesuai dengan bukti.
Banyak
sekali fungsi dari adanya bahasa salahsatunya sebagai alat komunikasi, sebagai
alat untuk menyampaikan ekspresi diri dan lain sebagainnya.
Ada
beberapa yang menyebabkan kita sulit dalam berbahasa yaitu Kata-kata bersifat
ambigu dan kontekstual, Kata-kata mengandung bias budaya, Percampuradukkan
fakta, penafsiran, dan penilaian.
Dalam
berbahasa cara berbahasa laki-laki dan perempuan sudah tentu berbeda terutama
dalam konteks pelafalan dan juga nada suara yang di ucapkan.
0 komentar:
Posting Komentar