Blogger templates

Jumat, 20 Oktober 2017

komunikasi verbal






1.    Asal-usul bahasa
Berbicara tentang asal usul bahasa, kita berhadapan dengan suatu aspek kajian yang paling banyak dipertentangkan. Hasil Studi yg selama ini dikembangkan untuk dapat melacak secara tepat bagaimana sesungguhnya asal-usul bahasa, belum ada yang memuaskan.Karena itu, di antara para penyelidik tentang genealogi keberbahasaan manusia, masih sulit untuk dicapai kesepakatan tunggal yg bersifat final.Begitu muncul pertanyaan “Bagaimana Mulanya bahasa itu Lahir?”Kita akan bersinggungan dengan banyak teori yg saling kontradiktif. Masing – masing teori mencoba menjelaskan secara spesifik tentang asal bahasa.Beberapa teori dan pendapat itu memilih jawaban yg beragam.Ada yg cukup ilmiah dan rasional, ada pula yg terkesan lucu, bahkan kadang terasa aneh dan tak masuk akal.
Bahkan karena terlalu sulitnya sumber-sumber yg bisa menjelaskan secara akurat tentang asal-usul bahasa, pada tahun 1866 masyarakat linguis Perancis sempat melarang mendiskusikan subjek tersebut, karena hal itu dianggap hanya spekulasi yg sama sekali tidak berarti.
Membicarakan asal bahasa, menurut mereka sebuah pertentangan yg sia-sia.

Penyelidikan Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif menyakini tentang adanya keterlibatan Dewa atau Tuhan dalam permulaan sejarah berbahasa mereka.
Menurut mereka, Tuhanlah yg mengajarkan Nabi Adam nama-nama benda.Dikatakan pula bahwa manusia diciptakan secara stimulan.Pada penciptaan ini, manusia dikaruniai kemampuan berbahasa sebagai anugerah Illahi.

Baru pada bagian akhir abad ke-18 spekulasi asal – usul bahasa berpindah dari wawasan keagamaan, mistik, takhayul ke alam paradigma pengetahuan baru yg disebut “ORGANIC PHASE” ( fase organik).
Pada fase ini, pergeseran paradigmatik dalam memahami asal – usul bahasa dimulai dengan terbitnya “UBER DEN ORGANIC PHASE” (dalam terjemahan bahasa inggris : “ON THE ORIGIN OF LANGUAGE)
Pada tahun 1772, ditulis oleh Johann Gottfried Von Herder (1744-1803).

Ia mengemukakan bahwa tidaklah tepat dikatakan bahwa bahasa merupakan anugerah Illahi.
Menurut Von Herder bahasa lahir karena dorongan manusia untuk mencoba – coba berfikir.
Bahasa adalah akibat hentakan dari suatu kehendak yg bekerja secara insingtif, seperti halnya janin dalam proses kelahiran. Teori ini bersamaan dengan mulai timbulnya teori EVOLUSI manusia yg diprakarsai oleh Immanuel Kant (1724-1804) yg kemudian disusul oleh Charles Darwin.

Menurut Darwin (1809-1882) dalam “DESCENT MAN” (1871), kualitas bahasa manusia dengan bahasa binatang hanya berbeda dalam tingakatannya saja.
Kalau pun ada perbedaan barangkali hanya dari ekspresi emosinya saja.


Namun Mark Muller (1823-1900) ahli filologi dari Jerman tidak sependapat dengan Darwin.
Muller meledek teori ini, menyebutnya sebagai “POOH-POHH THEORY”.Teori Darwin ini juga tidak disetujui oleh para sarjana berikutnya seperti Edward Sapir (1884-1939) dari Amerika.Mark Muller kemudian memperkenalkan “DINGDONG THEORY” atau disebut juga “NATIVISTIK THEORY”.Dalam beberapa hal teori ini sedikit sejalan dengan apa yg di ajukan Socrates.
“Bahwa bahasa lahir secara alamiah dan ilmiah”.

Tapi teori ini menyuguhkan suatu kesangsian ketika menemukan fakta bahwa ternyata bahasa manusia itu beragam, jika bahasa memang terbentuk secara natural sebagaimana bel, kenapa bahasa manusia menjadi tidak sama?
Pada akhirnya, Muller menolak teorinya sendiri.

Dari sekian teori dengan subjek yg sama, satu-satunya yg agak bertahan adalah “BOW-WOW THEORY”. Teori ini juga disebut “ONOMATOPOETIC” atau ECHOIC THEORY”.
Menurut teori ini, kata-kata yg pertama kali muncul adalah tiruan terhadap suara alam, seperti guntur, hujan, angin, sungai, ombak samudra dan lainnya.
Mark Muller dengan sarkastis mengomentari teori ini dengan mengatakan bahwa teori ini hanya berlaku pada kokok ayam dan bunyi itik, padahal, kata Muller, kegiatan bahasa justru lebih banyak terjadi diluar kandang ternak.

Beberapa teori mengenai Asal – Usul bahasa yg telah disebutkan tadi, termasuk dalam kategori teori- teori tradisional.

2.    Fungsi dari bahasa

Ø Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri. 
Bahasa merupakan sarana untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik berbentuk perasaan, pikiran, gagasan, dan keinginan yang dimilikinya.Begitu juga digunakan untuk menyatakan dan memperkenalkan keberadaan diri seseorang kepada orang lain dalam berbagai tempat dan situasi.
Ø Bahasa sebagai alat komunikasi.
Melalui Bahasa, manusia dapat berhubungan dan berinteraksi dengan alam sekitarnya, terutama sesama manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam berkomunikasi tentu harus memperhatikan dan menerapkan berbagai etika sehingga terwujud masyarakat yang madani selamat dunia dan akhirat.Bahasa sebagai alat komunikasi berpotensi untuk dijadikan sebagai sarana untuk mencapai suatu keberhasilan dan kesuksesan hidup manusia, baik sebagai insan akademis maupun sebagai warga masyarakat.Penggunaan bahasa yang tepat menjadikan seseorang dalam memperlancar segala urusan.Melalui bahasa yang baik, maka lawan komunikasi dapat memberikan respon yang positif. Akhirnya, dapat dipahami apa maksud dan tujuannya.
Ø Bahasa sebagai alat integrasi dan adaptasi social.
Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati. Dalam mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.
Ø Bahasa sebagai alat kontrol social.
Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat.Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa.Buku-buku pelajaran, buku-buku instruksi, ceramah agama (dakwah), orasi ilmiah atau politik adalah contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.Selain itu, kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio, iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal. Contoh lain yang menggambarkan fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan.

3.    Keterbatasan bahasa

Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek.Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu: orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan, dan sebagainya. Tidak semua kata tersedia untuk merujuk pada objek.Suatu kata hanya mewakili realitas, tetapi buka realitas itu sendiri.Dengan demikian, kata-kata pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara eksak.Kata-kata sifat dalam bahasa cenderung bersifat dikotomis, misalnya baik-buruk, kaya-miskin, pintar-bodoh, dsb.

Ada beberapa keterbatasan bahasa di lihat dari jenisnya yaitu :
·         Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual.
Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda, yang menganut latar belakang sosial budaya yang berbeda pula.Kata berat, yang mempunyai makna yang nuansanya beraneka ragam*. Misalnya: tubuh orang itu berat; kepala saya berat; ujian itu berat; dosen itu memberikan sanksi yang berat kepada mahasiswanya yang nyontek.

·         Kata-kata mengandung bias budaya.
Bahasa terikat konteks budaya. Oleh karena di dunia ini terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang (kebetulan) sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman ketiaka mereka menggunakan kata yang sama. Misalnya kata awak untuk orang Minang adalah saya atau kita, sedangkan dalam bahasa Melayu (di Palembang dan Malaysia) berarti kamu.Komunikasi sering dihubungkan dengan kata Latin communis yang artinya sama. Komunikasi hanya terjadi bila kita memiliki makna yang sama. Pada gilirannya, makna yang sama hanya terbentuk bila kita memiliki pengalaman yang sama. Kesamaan makna karena kesamaan pengalaman masa lalu atau kesamaan struktur kognitif disebut isomorfisme. Isomorfisme terjadi bila komunikan-komunikan berasal dari budaya yang sama, status sosial yang sama, pendidikan yang sama, ideologi yang sama; pendeknya mempunyai sejumlah maksimal pengalaman yang sama. Pada kenyataannya tidak ada isomorfisme total.

·         Percampuradukkan fakta, penafsiran, dan penilaian.
Dalam berbahasa kita sering mencampuradukkan fakta (uraian), penafsiran (dugaan), dan penilaian.Masalah ini berkaitan dengan dengan kekeliruan persepsi. Contoh: apa yang ada dalam pikiran kita ketika melihat seorang pria dewasa sedang membelah kayu pada hari kerja pukul 10.00 pagi? Kebanyakan dari kita akan menyebut orang itu sedang bekerja. Akan tetapi, jawaban sesungguhnya bergantung pada: Pertama, apa yang dimaksud bekerja? Kedua, apa pekerjaan tetap orang itu untuk mencari nafkah? .... Bila yang dimaksud bekerja adalah melakukan pekerjaan tetap untuk mencari nafkah, maka orang itu memang sedang bekerja.Akan tetapi, bila pekerjaan tetap orang itu adalah sebagai dosen, yang pekerjaannya adalah membaca, berbicara, menulis, maka membelah kayu bakar dapat kita anggap bersantai baginya, sebagai selingan di antara jam-jam kerjanya.

4.    Bahasa pria dan wanita

Dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat. Ada ungkapan “mengapa cara berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dengan kata lain, kita tertuju pada beberapa faktor yang menyebabkan wanita lebih suka menggunakan bahasa standar dibandingkan pria. Berkaitan dengan itu, patut dicermati bahasa sebagai bagian sosial, perbuatan yang berisi nilai, yang mencerminkan keruwetan jaringan sosial, politik, budaya, dan hubungan usia dalam masyarakat.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa wanita, di dalam masyarakat, sadar bahwa status mereka lebih rendah daripada laki-laki sehingga mereka menggunakan bentuk bahasa yang lebih standar daripada laki-laki. Pendapat ini mengatakan bahwa hal tersebut ada hubungannya dengan cara pria memperlakukan wanita karena kesenjangan yang dimiliki. Kesenjangan antara pria dan wanita terlihat dari segi fisik, suara, maupun faktor sosiokultural dalam bertutur (misalnya kesopanan).Dalam bidang pekerjaan, misalnya, wanita memiliki peran yang berbeda dari pada pria.Wanita lebih sering menduduki posisi kedua, jarang menjadi orang pertama, misalnya sebagai sekretaris, anggota parleman, karyawan biasa, dan lain-lain.

Dalam bersosialisasi, biasanya laki-laki lebih sering berbicara seputar olah raga, bisnis, politik, materi formal, atau pajak. Sementara itu, topik yang dibicarakan oleh wanita lebih menjurus kepada masalah kehidupan sosial, buku, makanan, minuman, dan gaya hidup. Menurut Janet Holmes, "Women are designated the role of modelling correct behaviour in the community."Dalam sudut pandang ini, wanita diharapkan lebih sopan saat bertutur.Tidak dapat dibayangkan seorang wanita menggunakan kata mengumpat “keras”.Dalam makian bahasa Jawa, misalnya, wanita takkan mengatakan asu, namun menyopankannya dengan bentuk asem (pada perkembangan selanjutnya, asem dijadikan makian oleh sebagian besar orang Jawa, termasuk pria, yang ingin menyopankan makiannya).Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, wanita mencoba melindungi keinginan atau kebutuhan mereka. Dalam kata lain, wanita menuntut status sosial yang lebih.

5.    Komunikasi konteks tinggi dan konteks rendah

a.      Komunikasi konteks tinggi

Komunikasi konteks tinggi adalah komunikasi yang bersifat implisit dan ambigu, yang menuntut penerima pesan agar menafsirkannya sendiri. Komunikasi konteks tinggi bersifat tidak langsung, tidak apa adanya.Komunikasi kontekstinggi mengandung pesan relative banyak terdapat dalam konteks fisik (physical context), sehingga makna pesan hanya dapat dipahami dalam konteks pesan tersebut. Dalam komunikasi konteks tinggi, makna terinternalisasikan pada orang yang bersangkutan, dan pesan lebih ditekankan pada aspek non – verbal (internalized in the person while very little is in the coded).Dalam komunikasi yang demikian, mengetahui suatu kata atau huruf hanya memberi sedikit makna bila tidak diketahui konteks penggunaannya.

Ciri-ciri Komunikasi Konteks Tinggi sbb: Ciri komunikasinya yang singkat, penuh arti, dan puitis. Komunikasi konteks tinggi sangat mungkin dipahami jika digunakan di dalam kelompoknya sendiri, tidak untuk kelompok luar.Komunikasi konteks tinggi bertipikal sedikit berbicara, implisit, puitis.Orang berbudaya konteks tinggi menekankan isyarat kontekstual, sehingga ekspresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi dan lokasi interaksi lebih bermakna. Orang dalam berbudaya konteks tinggi mengharapkan orang lain memahami suasana hati yang tak terucapkan, isyarat halus dan isyarat lingkungan.

Dalam interaksi konteks-tinggi pesan dalam komunikasi akan mudah dimengerti oleh kelompoknya (orang yang berkonteks-tinggi).Sulitnya untuk mengatakan tidak, bagi orang Indonesia bukan sekedar basa-basi, situasi demikian benar-benar ada apa adanya di lingkungan kita sehari-hari, yang oleh Edward T. Hall dikatakan ‘places cultures along a continuum’ (bersemi ada dalam budayanya). Orang Indonesia lebih memilih diam daripada mengucapkan kata tidak secara langsung.

Sistem masyarakat tertutup, yakni suatu sistem sosial yang mempercayai bahwa pandangannya tidak dapat diubah oleh kelompok luar.Disini peran kolektif cukup tampak menonjol, dibandingkan individu.Suatu Kelompok Sosial merupakan in-group atau bukan, tergantung situasi sosial.Sikap yang ada yang dimiliki oleh in-group pada umumnya didasarkan pada simpati.Selalu memiliki perasaan dekat dengan anggota kelompoknya.Budaya komunikasi konteks tinggi ditemukan dalam sistem sosial tertutup, seperti sistem sosial masyarakat Indonesia.   

Kurang bisa menghargai waktu, sering tidak tepat waktu kalau memberikan janji, dan kurang memiliki disiplin dalam menyelesaikan pekerjaan atau yang sering kita dengar dengan istilah suka ngaret. 
           

b.    Komunikasi konteks rendah

Komunikasi konteks rendah adalah komunikasi yang bersifat langsung, apa adanya, lugas tanpa berbelit-belit ngalor-ngidul. Karakter komunikasi semacam ini biasa terjadi di Barat, mereka sukanya to the point tidak suka basa-basi.

Pada umumnya, komunikasi konteks-rendah ditujukan pada pola komunikasi mode lisan langsung, pembicaraan lurus, kesiapan non verbal dan mengirim berorientasi nilai.Pengirim bersikap tanggung jawab untuk menyampaikan secara jelas.Dalam komunikasi konteks rendah, pembicara diharapkan untuk lebih bertanggung jawab untuk membangun sebuah kejelasan, pesan yang meyakinkan sehingga pendengar dapat membaca sandi dengan mudah.

Budaya konteks-rendah cenderung menganut “waktu monokronik”, waktu monokronik adalah waktu yang berjalan secara linear. Waktu linear dianggap berjalan dari masa lalu ke masa depan, seperti garis lurus, dan tidak pernah kembali. Waktu dianggap objektif, dapat dihitung, dihemat, dihabiskan, dan dibuang. Maka waktu menjadi berharga, sehingga muncullah pribahasa Time is money. Efisiensi waktu adalah ciri khas dari budaya konteks-rendah, one-thing-at-one-time, being on time,getting the job done.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Asal muasal bahasa sampai saat ini masih banyak di perdebatkan oleh para ahli sehingga para ahli belum menemukan hasil yang sesuai dengan bukti.

Banyak sekali fungsi dari adanya bahasa salahsatunya sebagai alat komunikasi, sebagai alat untuk menyampaikan ekspresi diri dan lain sebagainnya.

Ada beberapa yang menyebabkan kita sulit dalam berbahasa yaitu Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual, Kata-kata mengandung bias budaya, Percampuradukkan fakta, penafsiran, dan penilaian.

Dalam berbahasa cara berbahasa laki-laki dan perempuan sudah tentu berbeda terutama dalam konteks pelafalan dan juga nada suara yang di ucapkan.

Komunikasi konteks tinggi dilakukan secara tidak langsung sedangkan komunikasi konteks rendah justru malah sebaliknya.

Ditulis Oleh : Mr.Fm15 // Oktober 20, 2017
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.