BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat
pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat
pendidikan akan berangkat dari filsafat.
Filsafat
pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan
hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang
realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dalam
filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme,
idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan
merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya,
maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran,
sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Brubacher
(1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu
1) Filsafat
pendidikan “progresif” Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan
romantik naturalisme dari Roousseau
2) Filsafat
pendidikan “ Konservatif”. Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme
(humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.
Filsafat-filsafat
tersebut melahirkan berbagai mazhab filsafat pendidikan, salah satu diantaranya
yaitu “Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme”. Filsafat Pendidikan
rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini
lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan
melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun
1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Dalam konteks
filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan
aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua
aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa
keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun
demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama
dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi
dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan
kebudayaan yang scrasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara
tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan
regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran
rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus
yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat
manusia.
Untuk mencapai
tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama
manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam
suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan
dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan
membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama
terse but memerlukan kerjasama antar ummat manusia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka penyusun dapat merumuskan permasalahan
yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana
penerapan filsafat pendidikan rekontruksionisme dalam bidang pendidikan,
khususnya pendidikan di sekolah ?
2. Bagaimana
peran guru dalam suatu kelas yang berorientasi pada filsafat rekontruksionisme ?
3. Bagaimana
pandangan filsafat pendidikan rekontruksionisme terhadap pembelajaran ?
C.
Tujuan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini yaitu untuk memberikan gambaran kepada pembaca
tentang filsafat pendidikan rekontruksionisme khususnya gambaran mengenai
Prinsip-prinsip Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme; Implikasi Pendidikan
Filsafat PendidikanRekontruksionisme; dan Aplikasi Filsafat
PendidikanRekontruksionismedi Sekolah Dasar
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip-prinsip
Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
1. Hakikat
Manusia
Aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham
dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern.
Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang
bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu
oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran
rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran
perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan
yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan.
Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam
kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap
paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan
berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok
dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme
berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat
mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya.
Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar ummat
manusia.
2. Hakikat
Realitas
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita
itu bersifat universal, yang mana realita itu ada di mana dan sama di setiap
tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan
menuju kearah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang
kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti bewan
dan tumbuhan atau benda lain disekeiling kita, dan realita yang kita ketahui
dan kita badapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang
dipunnyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu
cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas
(teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna
mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap realita
memiliki perspektif tersendiri
3. Hakikat
Pengetahuan
Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami
realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin
memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan
realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan.
Karenanya, baik akal maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahun, dan
akal di bawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran filsafat rekontruksionisme juga berpendapat
bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni
bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa
pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri.
Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain
atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan
suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada
pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar
dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari
Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti
(evidence), dengan jalan pernikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan
hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion),
dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
4. Hakikat
Nilai
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan
nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan
alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar
ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan
manusia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) tentang pengertian
"nilai" tidak terbatas.
Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai
berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal,
yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi
(pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas
dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya.
Kemudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan
keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila
tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk
memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik
sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan
berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan
moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis
manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan, kemudian
berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat
sesungguhnya ialah Tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan
khusus, pancaran un sur keindahan universal yang abadi, maha indah dan Tuhan.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan
menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moral, kebajikan
moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari
kebajikan intelektual.
Dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan
yang mencapai kristalisasi pada abad IX-XIV, memberikan argumentasi rasio
tentang eksistensi Tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama scholastik, menyatakan
bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada sesuatu di
alam nyata ini diluar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai perwujudan dari
kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran yang demikian
didukung oleh Thomas Aquinas yang inti pembicaraannya untuk mengetahui realita
yang ada yang hams berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat
dijawab dan mesti diikuti dengan iman.
B.
Implikasi
Pendidikan Filsafat PendidikanRekontruksionisme
1. Tujuan
Pendidikan
Menurut Brameld (kneller,1971) mengemukakan bahwa Pendidikan
harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial
baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang
mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. Sekarang
peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus
menseponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Oleh karena itu,
kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat
manusia, bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui
tindakan politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui
pendidikan bagi para warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan
kehidupan mereka bersama.
Tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran terdidik
yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang
dihadapi manusia dalam skala global, dan memberi keterampilan kepada mereka
agar memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir
pendidikan adalah terciptanya masyarakat baru, yaitu sesuatu masyarakat global
yang saling ketergantungan. Pendidikan bertanggung jawab dalam menciptakan
aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya adalah esensial dalam masyarakat
yang majemuk. Transmisi budaya harus mengenal fakta budaya yang majemuk
tersebut.
2. Peranan
Siswa
Nilai-nilai budaya siswa yang dibawa ke sekolah
merupakan hal yang berharga. Keluhuran pribadi dan tanggung jawab sosial
ditingkatkan, manakala rasa normal diterima semua latar belakang budaya.
Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri
dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial. Menurut Brameld, kaum progresif
terlalu sangat menekankan bahwa kita semua dikondisikan secara sosial.
Perhatian kaum progresif hanya untuk mencari cara di mana individu dapat merealisasikan
dirinya dalam masyarakat, dan mengabaikan derajat di mana masyarakat telah
menjadikan dirinya. Menurut rekonstruksionisme, hidup beradab adalah hidup
berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah.
Pendidikan merupakan realisasi dari sosial(social self realization).Melalui
pendidikan, individu tidak hanya mengembangkan aspek-aspek sifat sosialnya
melainkan juga belajar bagaimana keterlibatannya dalam perencanaan sosial.
3. Peranan
Guru
Mengenai peranan guru, paham rekonstruksionisme sama
dengan paham progresivisme. Guru harus menyadarkan si terdidik terhadap
masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu terdidik mengidentifikasi
masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga terdidik memiliki kemampuan
memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong terdidik untuk dapat berpikir
alternatif dalam memecahkan masalah tersebut. Lebih jauh guru harus mampu
menciptakan aktivitas belajar yang berbeda secara serempak.Guru harus meyakini
terhadapvaliditasdanurgensidirinya dengan cara bijaksana dengan cara
memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus melaksanakan pengujian
secara terbuka terhadap fakta-fakta, walaupun bertentangan dengan pandangannya.
Guru menghadirkan beberapa pemecahan alternatif dengan jelas, dan ia memperkenankan
siswa-siswanya untuk mempertahankan pandangan-pandangan mereka sendiri.Guru
harus menunjukkan rasa hormat yang sejati (ikhlas) terhadap semua budaya, baik
dalam memberi pelajaran mupun dalam hal lainnya. Pelajaran sekolah harus
mewakili budaya masyarakat.
4. Kurikulum
Kurikulum merupakansubject matteryang berisikan
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi
umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi terdirik itu sendiri.
Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin"sains
sosial"dan proses penemuan ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai metode kerja
untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Dalam filsafat rekonstruksionisme, kita harus
meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai,
struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih. Semua itu harus
dibangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia
secara rasional dan ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum di mana pokok-pokok
dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu
sekuensi komponen pengetahuan.
Kurikulum
sekolah tidah boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang
ditentukan atau disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak
untuk mendapatkan tampat dalam kurikulum.
C.
Aplikasi
Filsafat PendidikanRekonstruksionismedi Sekolah Dasar
Aliran
filsafat pendidikanrekonstruksionismeberpendapat bahwa sekolah harus
mendominasi/mengarahkan perubahan atau rekonstruksi pada tatanan sosial saat
ini. Theodore Brameld (1904-1987), mendasarkan filsafatnya pada dua premis
mendasar mengenai pasca era Perang Dunia II: (1) kita tinggal dalam suatu
periode krisis hebat, yang paling nyata pada fakta bahwa manusia saat ini telah
mampu menghancurkan peradaban dalam semalam, dan (2) umat manusia juga memiliki
potensi intelektual, teknologi dan moral untuk menciptakan suatu peradaban
dunia "kesejahteraan, kesehatan dan kapasitas ramah" (Brameld 1959,
19). Maka pada saat yang sangat dibutuhkan ini, sekolah harus menjadi agen
utama untuk merencanakan dan mengarahkan perubahan sosial.
George
S. Counts sebagai pelopor rekonstruksionisme dalam publikasinya"Dare the
School Build a New Social 'Order",mengemukakan bahwa sekolah akan
betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru
secara keseluruhan, membasmi kemelaratan,peperangan, dan kesukuan (rasialisme).
Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang
besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai
agen pembaharu dan rekonstruksi sosial, daripada pendidikan hanya
mempertahankan status quo.
Sekolah
harus bersatu dengan kekuatan buruh progresif, wanita, para petani, dan
kelompokminoritasuntuk mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan. Counts
mengkritik pendidikan progresif, telah gagal menghasilkan teori kesejahteraan
sosial, dan ia mengatakan sekolah dengan pendekatan"child
centered"tidak cocok untuk menentukan pengetahuan danskillsesuai dalam
abad dua puluh.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan
aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua
aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa
keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Implikasi
pendidikan dalam filsafat rekonstruksionisme yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan
merupakan usaha sosial. Misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi
sosial.
2. Pendidikan
bertanggung jawab dalam menciptakan aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya
adalah esensial dalam masyarakat yang majemuk. Transmisi budaya harus mengenal
fakta budaya yang majemuk tersebut.
3. Kurikulum
sekolah tidah boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang
ditentukan atau disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak
untuk mendapatkan tampat dalam kurikulum.
4. Nilai-nilai
budaya siswa yang dibawa ke sekolah merupakan hal yang berharga. Keluhuran
pribadi dan tanggung jawab sosial ditingkatkan, manakala rasa normal diterima
semua latar belakang budaya.
5. Sebagai
kelanjutan dari pendidikan progresif, metode aktivitas dibenarkan(learning by
doing).
6. Guru
harus menunjukkan rasa hormat yang sejati (ikhlas) terhadap semua budaya, baik
dalam memberi pelajaran mupun dalam hal lainnya. Pelajaran sekolah harus
mewakili budaya masyarakat.
B.
Saran
Rekonstruksionisme
berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat
mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya.
Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar ummat
manusia.
Dalam
proses pembelajaran, guru diharapkan mampu membangun tata susunan pembelajaran
di kelas. Namun untuk mencapai tujuan tersebut, seorang guru harus bisa bekerja
sama dengan siswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Anitah W, Sri, dkk (2007) Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Arom dani, Panji. (2008).Aliran
Rekonstruksionism. [Online]. Tersedia
http://panjiaromdaniuinpai 2e.blogspot.com/2008/06
/aliran-aliran-filsafat- pendidikan.html
Nur, Fadliya. (2008).Filsafat
Rekonstruksionism. [Online]. Tersedia
http://fadliyanur.blogspot. com/2008/05/aliran- rekonstruksionisme.html
Sadulloh, Uyoh Drs, M.Pd.
(2007).Filsafat Pendidikan. Bandung: Cipta Utama
Setia. (2008).Rekonstruksionism.
[Online]. Tersedia http://setia-unindra-
bio2b.blogspot.com /2008_06_06_archive.html
Filsafat Pendidikan. (2008).
[Online]. Tersedia
http://education.feedfury.c om/content/16333546-
filsafat_pendidikan.html
0 komentar:
Posting Komentar