Blogger templates

Jumat, 20 Oktober 2017

Filsafat Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat.
Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu
1)      Filsafat pendidikan “progresif” Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau
2)      Filsafat pendidikan “ Konservatif”. Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.
Filsafat-filsafat tersebut melahirkan berbagai mazhab filsafat pendidikan, salah satu diantaranya yaitu “Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme”. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang scrasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya mem­bina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama terse but memerlukan kerjasama antar ummat manusia.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penyusun dapat merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana penerapan filsafat pendidikan rekontruksionisme dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan di sekolah ?
2.      Bagaimana peran guru dalam suatu kelas yang berorientasi pada filsafat rekontruksionisme ?
3.      Bagaimana pandangan filsafat pendidikan rekontruksionisme terhadap pembelajaran ?

C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang filsafat pendidikan rekontruksionisme khususnya gambaran mengenai Prinsip-prinsip Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme; Implikasi Pendidikan Filsafat PendidikanRekontruksionisme; dan Aplikasi Filsafat PendidikanRekontruksionismedi Sekolah Dasar



BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip-prinsip Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
1.      Hakikat Manusia
Aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya mem­bina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar ummat manusia.
2.      Hakikat Realitas
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada di mana dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju kearah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti bewan dan tumbuhan atau benda lain disekeiling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita badapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunnyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap realita memiliki perspektif tersendiri
3.      Hakikat Pengetahuan
Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik akal maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahun, dan akal di bawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran filsafat rekontruksionisme juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pernikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
4.      Hakikat Nilai
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan manusia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) tentang pengertian "nilai" tidak terbatas.
Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Ke­mudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya ialah Tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran un sur keindahan universal yang abadi, maha indah dan Tuhan.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan yang mencapai kristalisasi pada abad IX-XIV, memberikan argumentasi rasio tentang eksistensi Tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama scholastik, menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada sesuatu di alam nyata ini diluar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran yang demikian didukung oleh Thomas Aquinas yang inti pembicaraannya untuk mengetahui realita yang ada yang hams berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.


B.  Implikasi Pendidikan Filsafat PendidikanRekontruksionisme
1.      Tujuan Pendidikan
Menurut Brameld (kneller,1971) mengemukakan bahwa Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus menseponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Oleh karena itu, kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia, bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui tindakan politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui pendidikan bagi para warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan mereka bersama.
Tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi manusia dalam skala global, dan memberi keterampilan kepada mereka agar memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat baru, yaitu sesuatu masyarakat global yang saling ketergantungan. Pendidikan bertanggung jawab dalam menciptakan aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya adalah esensial dalam masyarakat yang majemuk. Transmisi budaya harus mengenal fakta budaya yang majemuk tersebut.
2.      Peranan Siswa
Nilai-nilai budaya siswa yang dibawa ke sekolah merupakan hal yang berharga. Keluhuran pribadi dan tanggung jawab sosial ditingkatkan, manakala rasa normal diterima semua latar belakang budaya.
Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial. Menurut Brameld, kaum progresif terlalu sangat menekankan bahwa kita semua dikondisikan secara sosial. Perhatian kaum progresif hanya untuk mencari cara di mana individu dapat merealisasikan dirinya dalam masyarakat, dan mengabaikan derajat di mana masyarakat telah menjadikan dirinya. Menurut rekonstruksionisme, hidup beradab adalah hidup berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah. Pendidikan merupakan realisasi dari sosial(social self realization).Melalui pendidikan, individu tidak hanya mengembangkan aspek-aspek sifat sosialnya melainkan juga belajar bagaimana keterlibatannya dalam perencanaan sosial.
3.      Peranan Guru
Mengenai peranan guru, paham rekonstruksionisme sama dengan paham progresivisme. Guru harus menyadarkan si terdidik terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu terdidik mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga terdidik memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong terdidik untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan masalah tersebut. Lebih jauh guru harus mampu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda secara serempak.Guru harus meyakini terhadapvaliditasdanurgensidirinya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus melaksanakan pengujian secara terbuka terhadap fakta-fakta, walaupun bertentangan dengan pandangannya. Guru menghadirkan beberapa pemecahan alternatif dengan jelas, dan ia memperkenankan siswa-siswanya untuk mempertahankan pandangan-pandangan mereka sendiri.Guru harus menunjukkan rasa hormat yang sejati (ikhlas) terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran mupun dalam hal lainnya. Pelajaran sekolah harus mewakili budaya masyarakat.
4.      Kurikulum
Kurikulum merupakansubject matteryang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi terdirik itu sendiri. Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin"sains sosial"dan proses penemuan ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Dalam filsafat rekonstruksionisme, kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih. Semua itu harus dibangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia secara rasional dan ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum di mana pokok-pokok dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu sekuensi komponen pengetahuan.
Kurikulum sekolah tidah boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak untuk mendapatkan tampat dalam kurikulum.

C. Aplikasi Filsafat PendidikanRekonstruksionismedi Sekolah Dasar
Aliran filsafat pendidikanrekonstruksionismeberpendapat bahwa sekolah harus mendominasi/mengarahkan perubahan atau rekonstruksi pada tatanan sosial saat ini. Theodore Brameld (1904-1987), mendasarkan filsafatnya pada dua premis mendasar mengenai pasca era Perang Dunia II: (1) kita tinggal dalam suatu periode krisis hebat, yang paling nyata pada fakta bahwa manusia saat ini telah mampu menghancurkan peradaban dalam semalam, dan (2) umat manusia juga memiliki potensi intelektual, teknologi dan moral untuk menciptakan suatu peradaban dunia "kesejahteraan, kesehatan dan kapasitas ramah" (Brameld 1959, 19). Maka pada saat yang sangat dibutuhkan ini, sekolah harus menjadi agen utama untuk merencanakan dan mengarahkan perubahan sosial.
George S. Counts sebagai pelopor rekonstruksionisme dalam publikasinya"Dare the School Build a New Social 'Order",mengemukakan bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan,peperangan, dan kesukuan (rasialisme). Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial, daripada pendidikan hanya mempertahankan status quo.
Sekolah harus bersatu dengan kekuatan buruh progresif, wanita, para petani, dan kelompokminoritasuntuk mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan. Counts mengkritik pendidikan progresif, telah gagal menghasilkan teori kesejahteraan sosial, dan ia mengatakan sekolah dengan pendekatan"child centered"tidak cocok untuk menentukan pengetahuan danskillsesuai dalam abad dua puluh.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Implikasi pendidikan dalam filsafat rekonstruksionisme yaitu sebagai berikut:
1.      Pendidikan merupakan usaha sosial. Misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial.
2.      Pendidikan bertanggung jawab dalam menciptakan aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya adalah esensial dalam masyarakat yang majemuk. Transmisi budaya harus mengenal fakta budaya yang majemuk tersebut.
3.      Kurikulum sekolah tidah boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak untuk mendapatkan tampat dalam kurikulum.
4.      Nilai-nilai budaya siswa yang dibawa ke sekolah merupakan hal yang berharga. Keluhuran pribadi dan tanggung jawab sosial ditingkatkan, manakala rasa normal diterima semua latar belakang budaya.
5.      Sebagai kelanjutan dari pendidikan progresif, metode aktivitas dibenarkan(learning by doing).
6.      Guru harus menunjukkan rasa hormat yang sejati (ikhlas) terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran mupun dalam hal lainnya. Pelajaran sekolah harus mewakili budaya masyarakat.




B.  Saran
Rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar ummat manusia.
Dalam proses pembelajaran, guru diharapkan mampu membangun tata susunan pembelajaran di kelas. Namun untuk mencapai tujuan tersebut, seorang guru harus bisa bekerja sama dengan siswa.



DAFTAR PUSTAKA
Anitah W, Sri, dkk (2007)  Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Arom dani, Panji. (2008).Aliran Rekonstruksionism. [Online]. Tersedia  http://panjiaromdaniuinpai 2e.blogspot.com/2008/06 /aliran-aliran-filsafat- pendidikan.html
Nur, Fadliya. (2008).Filsafat Rekonstruksionism. [Online]. Tersedia  http://fadliyanur.blogspot. com/2008/05/aliran- rekonstruksionisme.html
Sadulloh, Uyoh Drs, M.Pd. (2007).Filsafat Pendidikan. Bandung: Cipta Utama
Setia. (2008).Rekonstruksionism. [Online]. Tersedia  http://setia-unindra- bio2b.blogspot.com /2008_06_06_archive.html
Filsafat Pendidikan. (2008). [Online]. Tersedia  http://education.feedfury.c om/content/16333546- filsafat_pendidikan.html

Ditulis Oleh : Mr.Fm15 // Oktober 20, 2017
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.