Blogger templates

Jumat, 20 Oktober 2017

Sejarah dan Arti Filosofi Sila Pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa"


Selamat Membaca .... !!!!



BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Mengenai pembicaraan kita tentang pancasila, dasar Filsafat Negara kita, hendaknya kita mempersiapkan diri terlebih dahulu, bahwa yang terakhir menjadi perhatian kita ialah mengenai hal isi. Artinya daripadanya sebagai cita-cita bangsa telah kita ketahui sifatnya yang abstrak, umum, universal, dan tetap tidak berubah, sedangkan rumusanya adalah kesesuaian dengan hakikat Tuhan, hakikat manusia, hakikat satu, hakikat rakyat, dan hakikat adil.
Adanya Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil itu dalam kenyataan yang sesungguhnya, bagi bangsa Indonesia tidak lagi menjadi persoalan. Adapun adanya itu ialah dalam arti objektif, terlepas dari hubungannya dengan manusia, diketahui atau tidak, dianggap atau tidak, dikehendaki atau tidak, dipercaya atau tidak, diangan-angankan atau tidak, disadari atau tidak, pendek kata sama sekali tidak dipengaruhi oleh pancasila.
Kalau yang sudah-sudah pembicaraan kita mengenai isi arti dari pada semua isi barsama-sama, sekarang sudah sampailah pada saatnya untuk membicarakan isi arti dari pada tiap-tiap sila sendiri-sendiri

1.2              Rumusan Masalah
1.      Apa itu Pancasila ?
2.      Bagaimana sejarah terbentuknya Pancasila ?
3.      Apa makna dari sila ke-1 “Ketuhanan yang Maha Esa” ?

1.3              Tujuan
1.      Untuk mengetahui pemahaman tentang Pancasila,
2.      Untuk mengetahui sejarah terbentuknya Pancasila.
3.      Untuk memahami makna sila ke-1.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian
Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Perkataan mejemuk Pancasila berasal dari bahasa Sanksekerta yang berarti lima batu karang atau lima prinsip moral.[1] Dalam sejarah Indonesia kuno, perkataan Pancasila terdapat dalam buku Negarakertagama, suatu catatan sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit (1296-1478 M) yang ditulis oleh Empu Prapanca, penulis dan penyair istana. Sukarno mengambil alih terma ini, tetapi memberinya isi dan makna baru.
Menurut Muhammad Yamin, seorang ultranasionis dan dan pembela Pancasila, Pancasila adalah hasil galian Sukarno yang mendalam dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Sukarno bahkan mengatakan bahwa ia telah menggalinya dari masa jauh sebelum Islam. Menurut jalan pikirannya, Pancasila adlaah refleksi kontemplatif dari warisan sosiohistoris Indonesia yang kemudian Sukarno merumuskan Ketuhanan, misalnya tidak mempunyai kaitan organic dengan doktrim sentral agama yang manapun. Dengan ungkapan lain, Tuhan dalam konsep Sukarno bersifat sosiologis , sehingga konsep Ke- Tuhanan Sukarno sepenuhnya bersifat relatif ; ia dapat diperas menjadi gotong royong sebagaimana telah dikemukakan.[2] Ir.Sukarno sendiri memahami Pancasila adalah adalah isi jiwa Bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, pancasila bukan hanya falsafah negara, melainkan lebih luas lagi yakni falsafah Bangsa Indonesia.
            Dalam agama Budha terdapat juga istilah Pancasila yang ditulis dalam bahasa Pali yaitu “Pancha Sila” yang artinya lima pantangan atau larangan. Yaitu:
-          Tidak boleh mencuri.-
-          Tidak boleh berbohong.
-          Tidak boleh berjiwa dengki.
-          Tidak boleh melakukan kekerasan.
-          Tidak boleh minum minuman keras atau mengkonsumsi obat terlarang.

2.2       Sejarah Terbentuknya Pancasila
            Pada bulan 1 Maret 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat. Dalam pidato pembukaannya dr. Radjiman antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota-anggota Sidang, "Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?"

Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu:
Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.
Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan Sosial; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
 banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Sebelum sidang pertama itu berakhir, dibentuk suatu Panitia Kecil untuk:
-          Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar Negara berdasarkan pidato yang diucapkan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.
-          Menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka.
Dari Panitia Kecil itu dipilih 9 orang yang dikenal dengan Panitia Sembilan, untuk menyelenggarakan tugas itu. Rencana mereka itu disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 yang kemudian diberi nama Piagam Jakarta.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah:
Ø  Rumusan Pertama: Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945
Ø  Rumusan Kedua: Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 - tanggal 18 Agustus 1945
Ø  Rumusan Ketiga: Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949
Ø  Rumusan Keempat: Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950
Ø  Rumusan Kelima: Rumusan Pertama menjiwai Rumusan Kedua dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi (merujuk Dekret Presiden 5 Juli 1959)
Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 Juni 2016 telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila sekaligus menetapkannya sebagai hari libur nasional yang berlaku mulai tahun 2017.

2.3       Makna Sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pancasila sebagai dasar filsafat Negara kita itu terdapat dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dan rumusan dari sila pertama ialah “ke-Tuhanan yang Maha Esa”. Dengan pembicaraan yang sudah, kita sudah dapat mengetahui, bahwa yang dimaksud  ialah “Kesesuaian dengan hakekat Tuhan yang Maha Esa”.
Sejak kita kembali pada Undang-undang Dasar 1945, pada 5 Juli 1959, maka isi arti dari sila yang pertama itu mendapat tambahan. Perlu ditegaskan, bukan kata-katanya ditambah atau diubah, kata-katanya tetap, akan tetapi isi artinya mendapat tambahan, dan  lengkapnya dengan tambahannya itu ialah “kesesuaian dengan hakekat Tuhan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Jelasnya adalah demikian.
·        Piagam jakarta
Dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang menentukan berlakunya kembali undang-undang dasar 1945 bagi seluruh rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terdapat pula menjiwai Undang-undang Dasar 1945 adalah merupakan pernyataan, “bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.
            Maksud Dekrit Presiden itu ialah untuk menyelamatkan Republik Proklamasi dan diantara pertimbangan pertimbangan untuk mengadakan Dekrit itu ialah disebut “hubunganya Piagam Jakarta dengan Undang-undang Dasar 1945”.
Dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, dijiwai oleh dan dalam rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta, bangsa Indonesia dapat tidak hanya bekerja sesuai dengan dasar dan tujuan Revolusi kita, akan tetapi akan dapat juga merealisasikanya.
            Apabila kita melihat pada pertimbangan yang termuat dalam Dekrit Presiden sendiri, maka dapat disimpulkan, bahwa selain “keselamatan” dikehendaki pula “persatuan ....... Negara, Nusa dan Bangsa” dan untuk menimbulkan keadaan yang diperlukan bagi terselenggaranya” pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur”.
            Tentang Piagam Jakarta itu didalam lampiran suatu keputusan dewan pertimbangan agung ditambahkan keterangan, bahwa “perwujudan daripada realisasinya tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-undang Dasar pasal 29 ayat (2) yang berbunyi : Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya”.
            Untuk jelasnya kita tambahkan, bahwa ayat (1) daripada pasal 29 yang dijelaskan lebihlanjut dalam ayatnya (8) itu berbunyi : “Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa”.
            Yang penting bagi pembicaraan kita sekarang ialah, bahwa Piagam Jakarta itu menjiwai dan merupakan rangkaian kesatuan dengan sila pertama daripada pancasila sebagaimana terdapat dalam pembukaan Undang-undang Dasar, yaitu sila ke-Tuhanan yang Maha Esa dan juga penjelmaanya dalam tubuh Undang-undang Dasar, termuat dalam pasal 29 ayat (1) dan (2) tadi.
            Dalam pada hal itu hendaknya kita ingat kepada pernyataan-pernyataan resami dari pemerintah yang mendahului Dekrit Presidan sebagai berturut-turut terdapat dalam jawaban tertulis dari pemerintah atas pertanyaan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat, kedua dalam res publika, amanat Presiden dimuka Konstituante, dan ketiga dalam jawaban pemerintah atas pemandangan Konstituante mengenai amanat itu. “sekalipun tidaka berartiberlaku langsung”, begitulah dinyatakan........” pengakuan adanya Piagam Jakarta ......... berarti pula pengakuan akan pengaruhnya terhadap Undang-undang Dasar 1945, tidak hanya mengenai pembukaanya, tetapi juga mengenai pasal 29 Undang-undang Dasar 1945” ........ “bahwa Piagam Jakarta menjiwai Undng-undang Dasar 1945, khususnya terhadap pembukaanya dan pasal 29, pasal mana harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan”. “yaitu bahwa demikian kepada perkataan “ke-Tuhanan” dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat diberi arti “ke-Tuhanan” dengan kewajiban bagi umat islam menjalankan syari’atnya”, “sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan” ......... “atau peraturan pemerintah lain” ......... “bagi para pemeluk agama islam, yang dapat disesuaikan” ...... “(atau yang tidak) bertentangan” ......... “denagan hukum syari’at islam, dengan tidak mengurangi ketetapan yang termaktub dalam pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 bagi pemeluk agama lain”.
            Hal ini dapat lebih dipahamkan, apabila kita melihat kepada fungsi dan isi arti Piagam Jakarta bagi Proklamasi kemerdekaan kita, ialah dalam mewujudkan seatu persatuan, suatu perjanjian moril yang sangat luhur, yang khususnya terletak dalam rumus Piagam Jakarta bagi sila pertama dari Pancasila, pada waktu itu masih calon dasar filsafat Negara yang akan diproklamasikan, yaitu ke-Tuahanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at isalam bagi pemeluk-pemeluknya, sedangkan dengan tidak dipisahkan. Sila kedua dalam piagam Jakarta berbunyi : “menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab”, yang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menjadi “kemanusiaan yang adil dan beradab”, jadi dihapuskan kata-katanya “menurut dasar”.
            Demikianlan keterangan dari yang dikatakan dimuka, bahwa kata-kata “ke-Tuhanan yang Maha Esa” dalam pembukaan, setelah tanggal 5 Juni 1959, tanggal ditetapkan dan berlakunya Dekrit Presiden, isi artinya mendapat tambahan itu menjadi “kesesuaian dengan Tuhan yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar-dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Begitulah halnya dengan isi arti daripada pasal 29 ayat (1) undang-undang dasar.
            Memang didalam kehidupan hukum dikenal pembentukan hukum dengan jalan interpretasi atau tafsir.
            Yang demikian ituberarti, bahwa dengan kembali kita pada Undang-undang Dasar 1945, sebagaimana dimasukan dalam DekritPresiden, tarjadilah pemulihan dari isi arti Piagam Jakarta ketika proklamasi kemerdekaan dan maksud terpenting yang terkandung didalam pemulihan itu, ialah menimbulkan berlakunya fungsi dan isi arti Piagam Jakarta itu bagi waktu sekarang, dengan sendirinya yang sesuai dengan keadaan.
            Adapun fungsi dan isi arti Piagam Jakarta itu ialah suatu perjanjian moril yang sanagat luhur seperti semula diantara golongan agama dan golongan nasional, para pendukung ideologi ke-Tuhanan, ditambah golongn ideologi lain yang menerima dan menyokong Undang-undang Dasar 1945.
            Tentu hal menerima dan menyokong atau mendukung Undang-undang Dasar 1945 bukanlah akibat, akan tetapi sebaliknya adalah sebab daripada pemulihan fungsi dan isi arti Piagam Jakarta.



BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan Sosial; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu.



DAFTAR PUSTAKA

Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam Dan Masalah Kenegaraan. Jakarta. Pustaka LP3ES. 1985.
Said, Muhammad. Peranan Islam dalam Penghayatan, Pengamalan, dan Pengamanan Pancasila. Jakarta. Depag R.I. 1985.





[1] M. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (Jakarta : Prapanca, t.t), hal.437)
[2] A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hal.144

Ditulis Oleh : Mr.Fm15 // Oktober 20, 2017
Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.